image
image
image
image
image
Penerapan Hukum dalam Pandangan Masyarakat Indonesia

Penerapan Hukum dalam Pandangan Masyarakat Indonesia

Masyarakat luas tampaknya masih sangat asing dengan proses hukum. Karena itu, usaha-usaha memperkenalkan dan menerapkan hukum perlu terus diintensifkan.

Dalam tulisan kedua terakhir, penulis telah menyampaikan hasil penelitian The World Justice Project (WJP) mengenai “Rule of Law 2013” yang melibatkan 99 negara. Di Indonesia, Marketing Research Indonesia (MRI) ditunjuk untuk melaksanakan survei yang mewawancara 1.000 responden dari tiga kota terbesar, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Hasil riset ini sangat bermanfaat untuk merefl eksikan rule of law di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain yang sebagian sudah jauh lebih baik, meski untuk sebagian lain Indonesia tidak kalah.

Dari nilai maksimal 1, Indonesia mencapai skor 0,52, dan dalam pemeringkatan di antara 99 negara duduk di posisi ke-46. Di Asia Pasifi k posisi keseluruhan Indonesia ini dekat dengan Thailand (posisi ke-47) dan Mongolia (posisi ke-51), masih lebih baik daripada Filipina (posisi ke-60), Vietnam (posisi ke-65), Tiongkok (posisi ke-76), Myanmar (posisi ke 89), dan Kamboja (posisi ke-91). Posisi Indonesia masih di bawah Malaysia (posisi ke-35), Hong Kong (posisi ke-16), Korea Selatan (posisi ke-14), dan Singapura (posisi ke-10).

Sebagai negara yang besar dan memiliki dasar-dasar yang kuat untuk membangun negeri dengan budaya yang baik, tentu kita tidak puas dengan posisi itu. Kita memiliki Pancasila sebagai dasar negara, di mana sila pertama adalah ketuhanan Yang Maha Esa, bersama sila-sila lain—kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—memiliki landasan dan potensi menjadi negara yang kuat dalam penegakan hukum. Dengan Masyarakat luas tampaknya masih sangat asing dengan proses hukum. Karena itu, usaha-usaha memperkenalkan dan menerapkan hukum perlu terus diintensifkan. Penerapan Hukum dalam Pandangan Masyarakat beragamnya masyarakat Indonesia secara agama, etnis, dan faktor-faktor sosial-ekonomi lain, Indonesia memerlukan hukum positif yang berwibawa sehingga semua orang, dari semua latar belakang dan semua strata sosial, adalah sama di depan hukum.

Dari delapan area rule of law yang diamati, masyarakat melihat dua area yang situasinya sudah lumayan baik, yaitu dalam “keteraturan dan keamanan” (0,77) dan “pembatasan kekuasaan pemerintah” (0,64). Ini adalah faktor kelima dan faktor pertama dari delapan pilar penegakan hukum yang diukur dalam survei.

Faktor pertama telah dibahas pada tulisan sebelumnya. Karena itu, pada kesempatan ini penulis membahas faktor kelima dan pilar-pilar lain yang mendukung rule of law di suatu negara dan bagaimana masyarakat melihat situasi di negeri ini.

Menarik diperhatikan bahwa di wilayah Asia Pasifi k area penerapan hukum yang dicapai sebagai kinerja terbaik oleh Indonesia secara regional justru adalah titik terlemah. Sebaliknya, aspek yang sudah paling terpenuhi di mata masyarakat area ini ialah pemenuhan hak-hak mendasar masyarakat.

Artinya, masyarakat di negara-negara Asia Pasifi k baru merasakan bahwa hak-hak dasar mereka dilindungi pemerintah. Namun, masyarakat di negara-negara ini merasa paling kurang aman mengenai diri dan kepemilikan.

Walaupun dalam masalah keteraturan dan keamanan masyarakat Indonesia sudah melihat baik, tampaknya ini lebih disebabkan oleh faktor tidak adanya konfl ik antara kelompok dan terkendalinya tingkat kriminalitas dewasa ini. Sudah barang tentu ini sedikit banyak merefl eksikan situasi tiga kota besar yang disurvei—Jakarta, Surabaya, dan Bandung—sebagai tiga kota yang paling besar jumlah penduduknya. Ketiga kota ini juga yang disaratkan WJP dalam memilih kota survei.

Pada 2013 Indonesia memang tidak mengalami konfl ik yang tajam antarkelompok etnis atau golongan yang cukup luas seperti yang pernah terjadi sebelumnya, seperti di Ambon, Poso, dan Kalimantan Barat (Kalbar). Dibandingkan dengan situasi di negara-negara lain, seperti berbagai negara di Afrika, bahkan di negara-negara yang kelompok imigrannya menjadi besar dan mengalami konfl ik budaya dengan penduduk setempat, kita patut bersyukur bahwa konfl ik antaretnis sudah sangat kecil.

Semua pihak perlu menjaga hubungan antarkelompok dan memperjuangkan kebersamaan untuk kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan didukung penghormatan terhadap penegakan hukum. Pemerintah harus bersikap tegas untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan yang diperjuangkan dengan menggunakan alasan-alasan keyakinan yang tidak dalam koridor kebinekaan dalam memperjuangkan aspirasi aspirasi kelompok.

Namun, masyarakat tidak melihat bahwa korban kekerasan mendapatkan ganti rugi atau penyelesaian. Berbagai kasus kekerasan terhadap kelompok yang dilabel “PKI”; kekerasan, penculikan mahasiswa, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh penguasa pada masa lalu; serta kekerasan-kekerasan yang terjadi dewasa ini tampak memang dibiarkan pemerintah.

Pada masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia (RI) keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memang dirasa tidak terjadi pemerintahan yang kuat. Pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap kasus-kasus penutupan dan pembakaran rumah ibadah agama minoritas, demo yang sudah dinilai banyak pihak sebagai (tindakan) anarkis oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan tertentu seperti Front Pembela Islam (FPI). Karenanya, pemerintahan Jokowi diharapkan memperlihatkan sikap yang berbeda. Memang, masa pemerintahannya masih terlalu pendek untuk disimpulkan.

Keberanian yang diperlihatkan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang berasal dari etnis minoritas, tidak cukup untuk mendongkrak penghargaan terhadap penegakan hukum jika tidak diikuti sikap berani dan tegas para pemimpin lain. Merekalah yang seharusnya turut berada di garda terdepan dalam melindungi hak-hak masyarakat, seperti kepolisian.

Apalagi jika ada pihak-pihak pemimpin formal, seperti yang dipertontonkan oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang justru menampakkan dukungan terhadap kelompok yang jelas jelas anarkis dalam perilaku sosial-politiknya. Demonstrasi konfl ik politik yang kasatmata ini akan terekam dan termultiplikasi melalui media sosial dan menciptakan kesan yang kuat di pikiran masyarakat.

Aspek pengukuran lain yang relatif sudah lebih baik dibandingkan dengan yang lain ialah faktor keempat, yaitu penghargaan terhadap hak-hak mendasar (skor 0,54 dari 1). Hak-hak yang diamati di dalamnya ialah perlakuan nondiskriminasi, hak-hak hidup dan keamanan, proses hukum, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, hak privasi, kebebasan berasosiasi, serta perlindungan hak hak buruh.

Dari kedelapan komponen itu, masyarakat melihat, di negeri ini kebebasan berekspresi (0,74) dan kebebasan berkumpul (0,71) sudah sangat baik. Walau demikian, masih ada ruangan untuk perbaikan dalam kedua hal tersebut. Kebebasan berbicara yang perlu dikembangkan ialah yang bertanggung jawab dan persamaan perlakuan oleh pihak yang berotoritas.

Berbagai kasus yang terjadi menunjukkan, ketika kelompok tertentu berbicara kasar, anarkis, dan tidak konstitusional, pihak yang berwenang membiarkan saja, terutama kalau kelompok tersebut menggunakan atribut agama mayoritas. Sebaliknya, ketika beberapa orang melakukan kesalahan komunikasi, apalagi kalau ada orang

MENGENAI PELAKSANAAN HAK-HAK BERASOSIASI, TAMPAKNYA SIKAP-SIKAP PEMIMPIN MASIH PERLU DIBINA AGAR LEBIH MENGHARGAI KEBUTUHAN ITU DAN PERBEDAAN PENDAPAT.

penting yang melaporkan, aparat bertindak terlalu cepat memproses. 

Konsistensi antarmasalah dan perlakuan terhadap pelaku tanpa melihat siapa pihak pelaku masih perlu ditingkatkan. Mengenai pelaksanaan hak-hak berasosiasi, tampaknya sikap-sikap pemimpin masih perlu dibina agar lebih menghargai kebutuhan itu dan perbedaan pendapat.

Kebanyakan faktor lain masih mendapatkan penilaian yang relatif rendah, yaitu di bawah 6,0, khususnya persamaan dalam proses hukum (0,35). Tampaknya masyarakat luas masih sangat asing dengan proses hukum, dan melihat hanya orang-orang dengan kekuasaan dan berkantong tebal yang bisa mendapatkan proses serta perlindungan hukum yang selayaknya, bahkan berlebihan.

Walaupun sudah ada perbaikan-perbaikan, trauma pencuri ayam dihukum bertahun-tahun, sedangkan koruptor melenggang bebas atau menikmati fasilitas di penjara, masih ada dalam pikiran masyarakat luas yang notabene kelompok “bawah”. Oleh karena itu, usaha usaha memperkenalkan hukum dan menerapkan hukum perlu terus diintensifkan.

*) Penulis adalah Presiden Direktur Marketing Research Indonesia (MRI)

Welcome to comment box! We're excited to have you engage in thoughtful discussions and contribute positively.

No comments yet, would you like to be the first one?

To leave a comment
please Login or Registering to continue

Drive your business forward
with strategic decision-making

Connect with our consultants to discuss about your project

or email mri@mri-research-ind.com